Suatu hari ini harus diakhiri. Aku harap seseorang datang untuk mengakhiri. Terlalu lama berdiam disini dan rasa muak semakin menjadi-jadi, padamu, mereka, kalian semua. Bisikkanlah pada malaikat kematian, duhai kamu yang mengenalnya ; jenguklah diriku ini dan bawalah aku serta. Bisikkanlah dengan tegas dan tanpa keraguan. Malaikat kematian benci keragu-raguan. Bisikkanlah padanya, duhai kamu yang tahu dimana dirinya berada. Aku muak untuk menunggu. Sudah terlalu lama aku menunggu hadirnya.
Maukah kamu datang untuk mengakhiri ceritaku ini...?!
Pada sebuah tawa aku bersandar. Pada tawa itu aku tertawa. Pada tawa itu aku menangis. Pada tawa itu terekam jelas sesosok manusia. Peduli pada keluarganya. Peduli pada orang-orang disekitarnya. Peduli pada apa yang diyakininya. Bahkan terlalu peduli, terlalu baik, terlalu lugu. Setiap orang yang mengenal tawa itu, mengaguminya. Setiap orang yang mengenal tawa itu, menghormatinya. Setiap orang yang mengenal tawa itu, berhutang budi padanya. Tawa itu tak meminta apa-apa. Tak secuil pun. Tak sedikit pun. Tawa itu terlalu lugu dalam memandang kehidupan. Tawa itu hanya berharap dan tak meminta. Ia hanya berharap bahwa mereka yang mengenalnya, bisa tertawa seperti dirinya. Namun, tak ada yang bisa tertawa seperti dirinya. Tak ada yang mampu.
Tak ada lagi kah tawa yang bisa telingaku dengar, seperti sebuah tawa tempat aku bersandar sekarang...?!
Lalu tawa itu pun pergi. Tanpa berpesan. Tanpa pamit. Tanpa seucap kata pun. Tawa itu pergi dalam sekejap. Meninggalkan getaran dan goncangan. Getarannya terasa sampai jauh. Goncangannya belum berhenti sampai detik ini. Tawa itu sirna, dipeluk langit yang muram. Ditangisi semesta lewat hujan yang tebal. Tak ada tawa saat dirinya pergi, meski itu yang selama ini dirinya harapkan. Aku melihat wajah-wajah termenung. Aku melihat wajah-wajah pucat seolah tak percaya. Aku melihat wajah-wajah yang merobek jubahnya sebagai tanda duka yang dalam. Aku melihat wajah-wajah dipenuhi air mata. Aku melihat wajah-wajah yang tersedu sambil membenamkan waajahnya ke kedua telapak tangannya. Aku melihat wajah-wajah penuh penyesalan. Aku tak melihat wajah-wajah yang tertawa. Sebuah tawa yang terlalu lugu dalam memandang kehidupan. Harapannya dibawa serta saat dirinya pergi.
Dan nampaknya memang benar adanya ; tak ada tawa seperti tawa miliknya. Benarkah itu...?!
Lihat itu...!!!, lihalah itu...!!!, lihatlah kenyataan itu...!!!. Seseorang menuai apa yang mereka tanam. Jelas itu tertulis di dalam kitab suci. LIHAT AKU...!!!, aku menuai apa yang tidak aku tanam...!!!. Mereka itu jahanam-jahanam keji. Pengkhianat-pengkhianat dalam satu darah yang tak berperasaan. Mereka semua adalah role model keduniawian. Mereka mencabik-cabik hati demi uang. Mereka menumpahkan air mata demi uang. Mereka menyakiti darah yang sama dengan mereka demi uang. Mereka mengkhianatinya demi uang. Mereka lupa. Mereka lupa tempat mereka bersandar dulu. Sebuah tawa adalah tempat mereka dulu bersandar. Mereka lupa, dan tawa terlalu lugu dalam memandang kehidupan.
Aku mengacungkan jempol untuk mereka. Meludah. Lalu kemudian memalingkan wajahku dari mereka. Duhai tawa, salahkah aku...?!
Sentuhan lembut itu bernama kasih. Doa nya panjang di waktu malam. Setegar karang ia berdiri di kala siang. Senyumnya lembut di waktu senja. Perhatiannya penuh di waktu pagi menjelang. Tuhan menghitung setiap tetesan air mata yang jatuh dari matamu yang sayu. Tuhan mendengarkan serak paraunya suaramu saat dirimu berdoa. Selalu dan selalu, kau bentangkan selendang kesabaran milikmu itu setiap harinya. Kau menjauhkan aku dari dendam dan rasa sakit di hati. Meniup pergi kejengkelan, menghapus kepedihan, dan mengambil luka tanpa diminta. Anak kecil itu aku. Jemari mungil yang kau raih saat aku terjatuh. Anak kecil itu aku. Rambut halus di kepalaku yang kau belai. Anak kecil itu aku. Tubuh mungil yang kau peluk saat aku terbaring tiada daya. Sesungguhnya, anak kecil itu berlari dan berpeluh bukan untuk dirinya, melainkan untukmu. Meski sulit, anak kecil itu hanya ingin menghadirkan tawa bagimu. Seperti sebuah tawa yang kau cintai dengan hidupmu. Sebuah tawa yang telah pergi.
TO BE CONTINUED...
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar