Jumat, 26 Februari 2010

[ Between Sanctuary & Graveyard ]

Entah kenapa, akhir2 ini gw seneng banget nge-tes orang2 yang gw kenal atau orang2 yang baru gw temui.. Pengen tahu hal2 tentang diri mereka, kecepatan mereka berpikir dan bertindak, prinsip2 hidup mereka, kebaikan mereka, ketidak baikan mereka, kejujuran mereka, ketidakjujuran mereka, alasan2 yang mereka buat dan banyak hal2 yang lain tentang mereka.

Bukan mau mendakwa, hanya ingin tahu saja. Dan gw baru sadar, bahwa telah lama gw melakukan ini, hanya saja gw baru menyadarinya dan giat melakukannya sekarang. Gw tahu bahwa setiap orang tidaklah sempurna, selalu ada “cacat” dalam dirinya. 3 tahun belakangan ini gw mendapati “kecacatan” dalam diri gw. Semakin lama “kecacatan” itu membuat gw membenci diri gw sendiri.

Dulu gw melakukannya ke seseorang. Dengan segala perbedaan yang dia dan gw miliki, dengan air mata dari matanya, dengan semua perhatian dari amarahnya, cintanya selalu utuh, dengan perasaan sakit di hatinya yang bisa ia redam. Dia lulus. Dan gw mencintainya. Belum gw temukan lagi seorang wanita yang memiliki hati sebaik dia. Tak perlu risau, ini perspektif subjektif gw. Di mata gw, dia begitu berharga.

Dia pernah menyebutkan beberapa nama yang dia bilang adalah sahabat2 terbaik gw. Seiring waktu, nama2 yang dia sebutkan itu benar adanya. Gw gak akan menuliskannya di sini. Nama2 mereka gw ukir di hati gw, mereka selalu ada disana, di hati gw. Dan semoga nama gw ada di hati mereka.

Gw bertemu dengan manusia. Dengan banyak orang setiap harinya. Berbicara dengan mereka. Satu orang, satu karakter. Seratus orang, seratus karakter. Setiap harinya seperti itu. Memahami sifat dan kepribadian mereka. Mencari tahu “need”, “want”, dan “desire” dari orang2 itu. Cukup rumit memang. Dan lagi, gw bukanlah seorang psikolog bersertifikat atau berizasah dan pandai berteori. Memang rumit.

Gw masuk sebagai sosok yang inferior. Gw membuat mereka sebagai sosok superior. Gw ingin tahu apa yang dilakukan oleh mereka dengan superioritas yang mereka miliki. Apa yang akan mereka katakan, apa yang akan mereka perbuat, apa yang mereka pikirkan. Gw memposisikan diri gw di ruang abu-abu, dan gw mendorong mereka untuk memilih berada di ruang putih atau hitam. Mereka yang tentukan sendiri. Gw hanya bertugas sebagai pendorong bagi mereka. Gw gak mungkin ikut jadi hitam atau putih. Gw selalu berada di ruang abu-abu. Itu tes yang gw buat untuk mereka.

Pernahkah kalian menjumpai seseorang yang tak pernah tersenyum pada kalian…?!, seorang yang bertugas di front office mungkin…?!, atau seseorang yang bekerja di tempat kalian bekerja…?!, atau seseorang yang berada di tempat yang sering kalian kunjungi seperti bank, rumah sakit, kantor pemerintahan, dan tempat2 lain.

Senyum adalah hal simple, sepele, dan mudah untuk dilakukan.

Senyum itu dibuat dengan Cuma-Cuma, gratis, tinggal menggerakkan otot2 di wajah saja.

Senyum itu seharusnya ada di saat suka dan duka. Karena senyum itu terlalu mudah untuk dibuat. Hanya perlu sebuah hati dan pikiran yang baik untuk membuat senyum itu terbentuk. Simple dan gak ribet.

Karena senyum itu sangat mudah untuk untuk dibuat, gw pun bersembunyi di balik senyum gw sendiri. Gw tersenyum pada orang asing yang gw temui di jalan, di kantor, dan di tempat2 lain. Karena senyum itu terlalu mudah untuk dibuat. Belum ada tarifnya. Mungkin nanti ada tarifnya. Gw pun tak tahu –menahu kapan itu akan terjadi.

Gw sering bertemu orang2 front office yang tak bisa tersenyum untuk gw, tapi gw tersenyum untuk mereka. Kehidupan yang keras telah merenggut senyum dari wajah mereka. Kehidupan yang keras telah merenggut keluguan mereka sebagai manusia. Kehidupan yang keras telah mengambil paksa penghargaan dan kepedulian seorang manusia ke manusia yang lainnya.

Buat gw itu bukanlah masalah, seperti yang gw bilang tadi diatas ; cukuplah gw tahu.

Gw mengingat sosok Ayah gw. Sosok yang sedemikian lugunya pada kehidupan. Sosok yang begitu menyayangi dan peduli pada keluarga besarnya. Sosok yang peduli pada orang2 di sekitarnya. Apa yang bisa beliau lakukan untuk membantu, pasti beliau lakukan, meski itu adalah sesuatu hal yang beresiko. Setelah Ayah gw meninggal, tak ada yang tertinggal. Orang2 itu entah pergi kemana ?!, orang2 itu entah lupa atau bagaimana ?!, orang2 itu malah menghadirkan berbagai masalah buat gw sebagai penerus Ayah gw. Itu cukup mengejutkan gw, tapi gw tak tawar hati, seperti yang gw bilang tadi : cukuplah gw tahu.

Ayah gw itu memang teladan buat gw. Dan sulit sekali meneladani beliau. Terutama bila memakai pikiran. Beliau tak pernah berpikir, beliau hanya mampu tuk merasakan dengan hatinya. Buat gw itu berat, pikiran selalu menjadi anomaly untuk perasaan di hati. Sebuah dikotomi. Gw hidup dengan dikotomi, dengan dualisme, dan juga anomaly.

Gw merindukan perbincangan gw dengan beliau. Gw merindukan tawa beliau yang khas. Gw merindukan kesederhanaan dan keluguan beliau dalam memandang hidup. Ketika gw menangis dan merasa sendiri, beliau mengusap pipi gw lewat air mata gw. Terkadang, gw merasa bahwa banyak hal yang belum beliau ceritakan dan ajarkan keg w tentang kehidupan, tapi nampaknya takdir membawa gw untuk belajar dari kenyataan hidup dan pengalaman hidup yang gw jalani.

Meski terkadang itu adalah sesuatu yang menyakitkan buat gw, namun dibandingkan menjadi penonton atau pendengar, lebih baik jadi actor dalam film2 kehidupan yang diputar setiap harinya 24 jam non stop, selama umur masih dikandung oleh badan.

Beberapa orang yang disebutkan oleh seseorang yang gw cintai itu adalah beberapa sahabat gw, gw mengidolakan mereka. Gw juga mengidolakan beberapa orang2 yang gw kenal di sepanjang hidup gw. Untuk tahu bahwa kehidupan yang keras tak bisa merenggut kemurnian hati mereka, keluguan mereka, dan kasih sayang mereka untuk orang lain. Gw teramat kagum dengan mereka, teramat sayang dengan mereka.

Tak ada benci dalam diri gw. Tak ada hal lain dalam hidup ini yang setengah mati gw cari selain ketenangan batin. Ketenangan jiwa. Orang2 yang tersenyum di saat2 terakhir hidupnya adalah orang2 yang telah menemukan ketenangan batin, orang2 itu telah berdamai dengan dirinya dan segala hal di masa lalunya, orang2 itu telah memaafkan penyesalan2nya.

Kita semua tahu, pada akhirnya kita akan sendiri. Kita mati dan dikuburkan seorang diri. Karena kita datang ke dunia ini pun sendiri2. Dengan apa dan bagaimana kita menjalani kebersamaan dari sendirian menuju ke kesendirian lagi, itu yang akan diperhitungkan.

Inilah tes itu. Manusia memiliki kehendak bebas. Free will. Manusia bebas untuk memilih. Silahkan kalian memilih, tak usah sungkan. Gw gak mau mendakwa atas pilihan2 yang kalian buat, gw hanya ingin tahu saja.

Sekali lagi : silahkan pilih, tak perlu sungkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar