Senin, 23 November 2009

a sample...hope you'll like it...^^

Seorang pemuda terlihat sibuk membereskan sebuah meja di sebuah kafe. Tangannya terlihat cekatan sekali.


Tak lama, 3 orang perempuan masuk ke dalam kafe tersebut. Pemuda itu melihat perempuan2 tadi sambil mengangkat beberapa buah gelas, tak lama ia berjalan menuju ke bagian belakang kafe itu.


“itu si Rendi kan, ma…?!”, Tanya seorang perempuan ke temannya.


Rima mengangguk pelan.


“hmm…pantas aja ngajak kita berdua ke kafe ini…”, ujar seorang perempuan yang satunya lagi.


Rima tersenyum.


Seorang pelayan menghampiri ketiga orang perempuan itu.


“selamat datang, mau pesan apa…?!”, Tanya pelayan itu ramah.


“ehh…mbak, kami mau pesan, tapi bisa temen mbak aja yang melayani kami tidak..?!”, ujar salah seorang perempuan tadi.


“susan….!!!”, sahut Rima.


“udah, gak apa2 koq…!!!”, ujar susan


“boleh koq, kalo boleh tau namanya siapa…?!”, ujar pelayan itu.


“rendi, mbak…”, ujar perempuan yang satu lagi.


“aduuuhh, Mita…!!!”, ujar Rima lagi.


“kami bertiga temannya rendi di kampus, mbak…tolong ya mbak…”, ujar mita menambahkan.


Pelayan itu mengangguk sambil tersenyum.


Tak lama, pemuda yang bernama rendi datang menghampiri meja ketiga perempuan tadi.


“mau pesan apa…?!”, ujar rendi sambil bersiap mencatat pesanan.


“loe kerja disini, ren…?!”, Tanya susan.


“yup, seperti yang bisa loe liat sekarang…”, ujar rendi datar.


“enaknya pesen apa ya…?!”, Tanya mita sambil menatap rendi.


“liat aja di menu…”, sahut rendi sambil menatap balik mita.


“gw pesen yang biasa aja ya, ren..”, ujar rima.


rendi hanya mengangguk.


Tak lama, rendi selesai mencatat pesanan ketiga perempuan tadi.


“loe yang bawain pesanan kita ya, ren…”, ujar mita.


Rendi tak menjawab, kemudian dia berjalan ke belakang kafe.


15 menit kemudian rendi keluar sambil membawa pesanan ketiga perempuan yang juga temannya di kampus itu.


Setelah itu rendi sibuk kembali melayani pelanggan2 lain.


“dia sepertinya cowok yang bermasalah deh, ma…?!”, ujar susan sambil mengaduk2 strawberry nmilkshake di gelasnya dengan sedotan.


Rima menggeleng pelan. Dari tadi dia terus memperhatikan rendi.


“serius loe pernah pacaran sama cowok model begitu, ma..?!”, kali ini mita bertanya.


Rima mengangguk.


“kenapa harus dia lagi, ma…?!, kayak gak ada cowok lain aja…”, Tanya mita lagi.


“tak tahulah, hati gw maunya dia, dan hati gw gak pernah salah…”, ujar rima.


“meski loe akan tersakiti nanti…”


“iya, ma…”


“gw pernah menyakiti dia…gw rasa kalo dia nyakitin gw, kami impas, dan lagi, gw Cuma ngikutin perasaan gw aja…”, jawab rima.


Obrolan diantara ketiga perempuan itu terus berlanjut. Rendi masih sibuk melayani pesanan pelanggan yang mulai memadati kafe itu.


Satu jam kemudian ketiga perempuan itu beranjak dari mejanya. Rima menghampiri rendi.


“ren, loe punya waktu gak malam ini…?!”


“jawaban gw sama seperti hari2 kemarin, gak punya…”


“Malam ini saja, ren…please…”


“sorry banget, ma…tapi gw kerja di kafe ini sampe malam…”


“bisanya kapan…?!”


“gw juga gak tahu kapan…sorry banget ya…”


“gak apa2 koq, ren…”, ujar rima pelan sambil menahan rasa kecewa dan sedih yang terus berulang.


“yaudah, gw pergi dulu ya…sampai ketemu besok pagi di kampus…”


“ya…”, ujar rendi pelan.


Rima berjalan menghampiri kedua temannya, lalu mereka bertiga berjalan keluar dari kafe. Rendi terus memandangi mereka.


“gila loe, ren…gak kasian apa sama itu cewek, tiap dia ngajak loe janjian buat ketemu selalu loe tolak…?!?!”, ujar seorang pelayan lain.


“karena gw kasian sama dia, makanya gw tolak terus…”


“sesekali loe terima lah ajakan dia, kasian tau, ren…”


“sudahlah…”, ujar rendi menyudahi pembicaraan.



Keesokan harinya di kampus.


“rendi…”, suara rima menghentikan langkah rendi.


Rendi menoleh ke arah rima.


“ada waktu gak nanti sore…?!”


Rendi menggeleng pelan.


“ohh…umh…gw mau ngajak loe ke dokter…”


“ngapain ke dokter…?!”


“check up…”


“gw harus kerja di kafe nanti sore sampai malam…maaf ya, ma..”


Rima menganggu sambil terseyum. Rendi bisa menangkap senyum rima yang sedikit dipaksakan.


“kapan kamu punya waktu buat aku, rendi…?!. Sehari saja, rendi…aku hanya ingin kamu tahu dan mengerti…”, ujar rima didalam hatinya.


“kedua teman loe mana..?!”, tanya rendi.


“susan gak masuk kampus hari ini, mita tadi dijemput pacarnya…”


“ohh…”


“yasudah, gw pergi ke dokter sendirian aja…”


“maaf ya, rima…”


Rima hanya tersenyum.


“yasudah, loe berangkat ke kafe, nanti telat…”


“iya..”


“hati2 di jalan ya…”


“iya…”



Beberapa minggu kemudian.


Rendi sedang membereskan beberapa buah payung besar di depan kafe. Badannya basah kuyup dihantam hujan deras. Angin kencang yang disertai hujan memang sempat membuat payung2 besar di depan kafenya hampir tumbang. Setelah selesai, rendi tak langsung masuk ke dalam kafe, dia diam dan duduk di jalan besar di depan kafe tempat dia bekerja. Ia meraih HP di saku celananya yang berbunyi. Sebuah telefon dari rima.
Rendi masih melihat HP nya, setelah menghela nafas panjang, dimatikannya HP nya lalu dimasukkan ke dalam saku celananya kembali. Rendi terduduk di trotoar, dibenamkannya kepalanya ke kedua lengannya. Rendi pun menangis.


Tak jauh dari rendi. Sebuah mobil sedan terparkir di pinggir jalan. Seorang perempuan di dalam mobil itu pun menangis. Sebuah lagu yang pernah dibawakan rendi bersama beberapa teman band nya saat acara musik di kampusnya turut larut bersama tangisnya.
Dia tahu lagu itu buat dia, meski rendi pernah berkata tidak. Dia tahu lagu itu untuknya. Hatinya yang memberi tahu.

"I never really wanted you to see
The screwed up side of me that I keep
Locked inside of me so deep
It always seems to get to me...

I never really wanted you to go
So many things you should have known
I guess for me there's just no hope
I never meant to be so cold...

What I really meant to say
Is I'm sorry for the way I am
I never meant to be so cold
Never meant to be so cold
What I really meant to say
Is I'm sorry for the way I am
I never meant to be so cold
Never meant to be so cold..."

http://www.youtube.com/watch?v=n61Du5lhWio&feature=fvst

( CROSSFADE - COLD )


Perempuan itu menghampiri rendi yang masih terisak di pinggir jalan yang mulai sepi dari kendaraan. Hujan masih turun dengan derasnya.


“rendi…”, ujar perempuan itu sambil berdiri di depan rendi.


“rima…”, sahut rendi sambil menatap rima.


“untuk yang kesekian kalinya, ren….aku minta maaf sama kamu…”


“sudahlah, ma…gak usah dibahas lagi…”


“aku tahu kalau aku pernah nyakitin kamu…”


“sudahlah, aku malas untuk mengingat-ingat lagi ke masa itu…”


“aku tak bisa terus2an menahan perasaan aku, ren…aku tak bisa tuk terus2an merasa kecewa seperti ini…”


“sudahlah, rima…aku benar2 sedang tidak ingin mengingat-ingat lagi…tolonglah…”


“sepahit itukah hatimu, ren…?!”


“pertanyaan macam apa itu…?!”


“iya, sepahit itukah hatimu bila denganku…?!, kamu sakiti aku terus, ren….!!!, aku ingin meengajakmu berbincang berdua saja, aku ingin bercerita agar kamu bisa mengerti, ren…”


“tak ada lagi yang harus kamu ceritakan, ma…dan tak ada lagi yang harus kumengerti…”


“Aku sayang kamu, ren…”,suara rima lirih, air matanya mulai meleleh kembali.


“sayang…?!”


“iya, ren…aku selalu sayang sama kamu, gak pernah berubah ren…”


“kamu sayang sama aku…?!”, Tanya rendi sambil bangkit berdiri.


Rima mengangguk, air mata mengalir deras dari kedua matanya.


“kamu pergi diwaktu aku terkena musibah, ma…apakah kamu lupa…?!”, suara rendi keras.


“aku tahu, ren…aku minta maaf…”


“apakah kamu tahu rasanya kehilangan kedua orang tua sekaligus…?!, apakah kamu tahu rasanya bekerja demi aku dan adikku satu2nya…?!, apakah kamu tahu bagaimana rasanya orang yang kamu sayang ternyata pergi ketika kamu sangat2 membutuhkan dirinya…?!, terlebih lagi, kamu sendiri tidak tahu orang yang kamu sayangi itu pergi kemana…?!, dia tiba2 saja lenyap, menghilang begitu saja…!!!”, ujar rendi dengan suara bergetar.


Rima tak menjawab. Dia hanya bisa menangis.


“jika kamu bertanya tentang kepahitan hatiku padamu, aku rasa kamu tahu sebabnya…”


“maafin aku, rendi…”, suara rima bercampur dengan tangisnya yang terisak. Kedua kakinya tak kuat lagi berdiri. Rima pun terduduk di trotoar.


“aku memang sayang kamu, ma…namun, semenjak hari itu, di dalam hatiku hanya ada ketegaran, semenjak hari itu, aku jatuh cinta pada ketegaran…tak ada lagi ruang di hatiku yang tersisa buatmu…”


“dengarkan aku, rendi…”, rima bangkit berdiri dan mendekati rendi.


“pulanglah, ma… aku bahkan menganggap kamu sudah tidak ada lagi…”


“Ren…”, ujar rima sambil meraih jemari rendi.


“pulanglah, rima…pulanglah…”, sahut rendi sambil melepaskan genggaman rima dan berjalan meninggalkan rima.


“aku tak minta banyak, ren…!!!, sehari saja…!!!, aku ingin menceritakannya padamu rendi…!!!, sehari saja, rendi…!!!” teriak rima.


“ aku sibuk, ma…tak bisakah kamu lihat…?!”, sahut rendi sambil melanjutkan langkahnya berjalan menuju kafe.


“sehari saja rendi…tolonglah…!!!”


rendi tak bergeming, dia pun masuk ke dalam kafe meninggalkan rina yang masih menangis bersama hujan malam ini.


sebulan kemudian.


“rendi…”, teriak rima sambil menghampiri rendi.


“ya..?!”, sahut rendi datar.


“liburan semester ini mau kemana…?!”


“gak kemana-mana, gw kerja seperti biasa…”


“libur 3 bulan dihabiskan buat kerja…?!”


Rendi mengangguk.


“boleh ngobrol sebentar di bangku taman sana…?!, sebentaran aja…”


“jangan lama2 ya…gw harus ke kafe soalnya…”


“iya, janji…Cuma 15 menit aja…”, sahut rima sambill tersenyum.


Kedua orang itu pun berjalan menuju bangku di taman samping gedung perkuliahan.


“rendi…”, ujar rima membuka obrolan.


“ya…?!”


“kamu memang cowok paling tegar yang aku kenal, aku tahu aku udah nyakitin kamu, dan bila kamu nyakitin aku, aku anggap kita impas…”


Rendi mengerutkan dahinya.


“aku Cuma mau berpesan ke kamu, kamu harus jaga diri kamu baik2, aku tahu kamu bisa…aku sayang sama kamu rendi, selalu sayang sama kamu…dan sebulan ini…”, rima berhenti berkata-kata, matanya mulai berkaca-kaca.


Rendi diam dan mendengarkan.


“sebulan ini aku berusaha berdamai dengan masa lalu aku, dengan perasaan aku ke kamu, dengan diriku sendiri…dan…”, rima terdiam sambil menyeka air mata yang meleleh di kedua pipinya.


“dan apa…?!”, Tanya rendi.


“dan aku minta maaf sama kamu atas apa yang aku perbuat ke kamu waktu itu…”


Rendi terdiam.


“itu aja sih yang mau aku omongin ke kamu…kamu jaga diri kamu baik2 ya, aku akan sangat2 merindukan kamu, ren…”


“datang saja ke kafe bila kamu mau melihat aku…”, ujar rendi.


Rima tak menjawab. Hanya menangis sambil dicobanya tersenyum.


“itu saja…?!”, Tanya rendi.


Rima mengangguk sambil menyeka kedua matanya kembali.


“aku tahu kamu, rima…masih ada yang kamu mau ceritakan kan…?!”


rima menggeleng pelan.


“yasudah, aku pergi dulu ya…”


“ren…”


“ya…?!”


“ambillah cuti sehari saja dalam 3 bulan ini, dan temuilah aku…”


“untuk apa…?!”


“aku masih ingin bercerita ke kamu…sehari saja…”


Rendi tak menjawab.


“selamat liburan ya…aku pergi dulu…”, ujar rendi sambil berlalu dari taman.


Sudah 2 bulan ini rendi tak melihat rima datang ke kafe tempat kerjanya. Rendi berpikiran rima sedang liburan ke luar negeri seperti liburan2 yang lalu. Hanya ada kedua teman rima yang sering datang ke kafe tempat rendi kerja. Rendi pun sering bingung bila tiba2 kedua teman rima itu mengambil gambar dirinya atau merekam dirinya dengan HP mereka. Dalam benaknya, susan dan mita mengambil gambar dirinya dan merekan dirinya untuk dikirim kepada rima yang sedang ada di luar negeri.


Seminggu lagi sebelum masuk kuliah. Rima pun masih belum pernah datang ke kafe rendi. Rendi mulai merasakan keanehan yang pernah terjadi saat rima pergi dan menghilang sewaktu kedua orang tua rendi meninggal dalam sebuah kecelakaan mobil 3 tahun silam.


Rendi memacu motornya di jalanan yang sepi dengan kecepatan tinggi. Kepalanya masih memikirkan rima. Otak rendi pun memutar potongan2 memori dirinya saat masih bersama rima. Tanpa disadari oleh rendi, motornya terus bergerak ke tengah jalan, dan terus bergerak ke kanan jalan. Sebuah truk berjalan dengan kencang ke arah rendi. Truk itu membunyiukan klakson berkali-kali dan memain kan dim lampu. Rendi tersadar dan kaget melihat sebuah truk besar di depannya. Dibantingnya kemudi motornya kearah pinggir jalan sebelah kanan…


CKIIITTTT……BRAAAAAAKKKKKKK…..!!!!


Motor rendi tertabrak dan terseret sejauh 10 meter. Rendi tergeletak di pinggir jalan dan tak sadarkan diri.


Rendi membuka kedua matanya. Dia merasakan rasa sakit yang luar biasa di lengan dan kakinya. Dicobanya untuk duduk, sambil terus2an mengaduh karena merasakan sakit di sekujur badannya, rendi pun terduduk di ranjang sebuah rumah sakit.


Dilihatnya satu persatu lukanya, kebanyakan hanya luka lecet dan memar. Rendi pun melihat sekelilingnya. Seorang teman baiknya di kafe tertidur di lantai. Adik perempuan satu2nya tertidur di kursi di samping tempat tidurnya.


Hari masih pagi. Rendi pun melanjutkan tidurnya. Jemarinya menggenggam jemari adiknya.


Rendi terbangun saat hari mulai beranjak siang. Hanya ada dirinya di dalam kamarnya. Temannya itu pasti sudah pergi kerja ke kafe. Adik perempuannya pasti sedang sekolah.


“sudah bangun, pak…?!”, suara ramah seorang suster sambil menghampiri rendi.


“iya..”


“masih sakit gak tangan dan kakinya..?!”


“masih lumayan sakit, sus…”


“saya suntik antibiotik dulu ya, pak..”


Rendi mengangguk sambil melihat suster tersebut menyuntikkan antibiotic ke dalam selang infusnya.


“sebentar lagi kita ke ruang CT scan ya, pak…”


“iya…”


“sebentar ya, saya ambil kursi rodanya dulu..”


Rendi mengangguk.


Tak lama, rendi pun sudah berada di kursi roda menuju ruang CT scan.

Setelah setengah jam rendi pun keluar dari ruang CT scan itu.

Rendi masih duduk di kursi roda di ruang tunggu CT scan. Suster yang mengantarnya masih ada di dalam ruang CT scan. Dilihatnya sekelilingnya. Pandanganya tertuju pada seorang perempuan yang terbaring lemah di sebuah ranjang di pojok ruang tunggu ini. diperhatikannya dengan seksama perempuan itu. Didekatinya perempuan itu. Semakin rendi mendorong kursi rodanya mendekati ranjang perempuan itu, semakin hancur rasa pahit di hatinya, semakin dekat dirinya dengan perempuan itu, semakin deras air matanya mengalir.


“rima…”, ujar rendi lirih.


Tak ada jawaban, yang rendi dengar hanya suara erangan pelan.


“rimaaa…”, perempuan itu menoleh ke arah rendi.


“rendi…”, ujar rima pelan. Senyum khasnya muncul dengan air mata.


“kenapa, ma…kenapa…?!”, sahut rendi sambil menyeka air mata rima.


Rima hanya tersenyum dengan derai air mata.


Rendi pun tak kuasa menahan tangisnya. Dicobanya tuk berdiri, tak dihiraukan lagi rasa sakit di tangan dan kakinya.


“ceritakan padaku, ma…”


“aku ingin sekali bercerita padamu, tapi kamu tak pernah punya waktu buatku…”


Tangis rendi semakin kencang mendengar kata2 rima.


“maafin aku, rima…”


“itu bukan salah kamu, rendi. Kamu berhak menyakiti orang yang udah nyakitin kamu, anggap saja kita impas…”


Rendi membelai rambut rima dan menggenggam jemari rima.


“Tuhan menjawab doaku, ren…”


Rendi tak berkata, hanya menangis.


“kamu ada disini sekarang denganku, Tuhan menjawab doaku, ren…”


Rendi tak lagi mampu berkata-kata, berkali-kali dia menciumi tangan rima.


“tak lama lagi, ren…tak lama lagi…”


Rendi mencoba tenang. Ditariknya nafasnya dalam2. ceritakan padaku, ren…ceritakan padaku semuanya…”


“masih ada waktu beberapa hari lagi, aku akan ceritakan semuanya…”


“maafin aku, ma…aku tak setegar yang kamu pikirkan…”


“enggak, ren…kamu memang tegar…tegarlah buatku kali ini…”


Rendi mengangguk. Kedua orang itu pun larut dalam tangis. Air mata rupanya telah meluluh lantakkan rasa pahit yang telah membatu di hati rendi.


“aku ingin ada terus di sisi kamu hingga saat terakhirmu…aku sayang kamu, rima…”, ujar rendi sambil menyeka air mata di mata rima dan mengecup senyum di bibir rima.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar