Senin, 23 November 2009

Another Sample...

[Jika dulu kejadiannya berakhir seperti ini, aku gak akan pernah memaafkan diri aku sendiri]


Zaki masih sibuk berkutat dengan komputer di kantornya. Tak dihiraukannya lagi orang2 di sekitarnya. Di dalam kepalanya hanya ada satu hal, yaitu tugas kantor ini harus selesai tepat pada waktunya.

Beberapa SMS masuk, kesemua SMS itu dilihatnya namun tak dibalasnya. Semenjak kerja, zaki memang berubah, menjadi seorang workaholic.

Tak lama kemudian, HP zaki berbunyi, diraihnya HP tersebut dari meja.

“ya..?!”,ujar zaki pelan.

“kamu gak balas SMS aku, ki…?!”,suara dinda terdengar sedikit kesal.

“aku lagi sibuk sekarang…”

“sampe gak sempat balas SMS aku…?!”

“aku sedang sibuk banget sekarang, nanti akan aku balas…”

“gak usah, udah basi…”

“oh..yaudah kalo gitu..”

Tak ada jawaban dari dinda.

“sabtu minggu besok aku gak bisa ikut kamu ke acara reuni SMA kamu, aku ada kerjaan nih…gak apa2 ya..”

Telefon pun ditutup oleh dinda.


Zaki kemudian melanjutkan pekerjaannya.

Hari berlalu dengan cepat.

Zaki masih sama seperti dulu, dia begitu menyayangi dinda. Namun, pekerjaannya memang membutuhkan pengorbanan waktu yang sangat besar. Zaki berharap dinda mengerti, namun dinda merasa dirinya kehilangan zaki, seorang pria yang begitu dicintainya.

Disebuah siang yang terik di kawasan perkantoran tersibuk di Jakarta.

Zaki berjalan tergesa menyusuri lobby gedung tempatnya bekerja. Tak disadarinya dinda sedang menanti dirinya di sebuah kafe di lobby gedung tempat zaki bekerja. Dinda pun menghampiri zaki yang sedang berjalan dengan tergesa itu.

“zaki…”, suara dinda memanggil kekkasihnya itu.

Zaki membalikkan badannya mencari sumber suara.

“Dinda…?!, ngapain kamu disini..?!”

“aku mau mengajak kamu makan siang, ki…”

“aku gak bisa, dinda…lain kali aja ya..?!”

“aku sudah disini zaki, ayolah, sebentar saja…”

“aku bener2 gak bisa, dinda. Aku hari ini mau nemuin supplier, ada hal penting yang harus dirapatkan…”

“kenapa kamu seolah menghindari aku, zaki…?!”

“aku gak menghindari kamu, dinda. Tolonglah mengerti, dinda…”

Dinda tak menjawab, hanya mengangguk sambil tersenyum.

Zaki pun melanjutkan langkahnya dan meninggalkan dinda yang hatinya terluka.

Hari-hari terus berlalu. Zaki semakin jauh dari dinda. Semua telefon dan SMS dinda hampir tak ada yang dibalasnya. Frekuensi pertemuan mereka berdua pun semakin jarang. Zaki semakin larut dalam kesibukan pekerjaannya.

Beberapa kali dinda pergi ke kantor zaki hanya sekedar untuk mengajak zaki makan siang, namun dinda harus kembali kecewa dan kecewa, karena zaki begitu memilih pekerjaanya dibanding dirinya.

Di sebuah siang saat jam makan siang.

“aku tak bisa terus2an seperti ini, zaki…”

Zaki mengerutkan dahinya, dia tak mengerti apa yang dikatakan dinda.

“kamu semakin jauh dari aku, ki…apakah kau sadari itu…?!”

Zaki tak menjawab. Dia masih ingin mendengarkan.

“kamu lebih memilih pekerjaan kamu dibanding aku…”

“dinda, aku kerja bukan buat aku aja, buat kamu juga, buat kita..”

“tapi aku gak bisa seperti ini, ki…aku gak bisa…”

Zaki tak menjawab.

“tempatmu bekerja dan tempatku bekerja hanya dipisahkan dua buah gedung saja zaki, tapi kita belum pernah makan siang bersama. Sudah mau dua tahun kita seperti ini, ki…”


“tolonglah mengerti, dinda…”


“katakan padaku, ki….apakah ada perempuan lain…?!”

“kamu ngomong apa sih, dinda…?!”

“bilang saja…!!!”

“tentu tidak ada, dinda…ngawur kamu…!!!”

“lalu, kenapa kamu seperti menghindari aku…?!”

“aku tidak menghindari kamu, dinda. Aku memang sibuk…!!!, tolonglah kamu mengerti…!!!”

“ya, aku mengerti. Aku mengerti kalo aku perlahan-lahan kehilangan kamu. Hanya aku yang kehilangan, kamu tidak…”

“mau kamu apa sih…?!”, ujar zaki dengan suara yang tinggi.

Dinda seolah tersambar petir mendengar kata2 zaki barusan.

“mau aku apa…?!”

“iya, mau kamu apa sih…?!”

“kamu tak tahu mau aku apa…?!, seharusnya kamu tahu, ki…dulu kamu selalu tahu mau aku apa…”

Zaki terdiam. Kepalanya mencari2 jawaban yang dinginkan dinda. Namun sepertinya zaki benar2 lupa.

“kamu tak lagi tahu mau aku apa..?!”

Zaki masih terdiam.

“teruslah seperti ini zaki, aku akan mencoba mengerti bahwa aku akan semakin kehilangan kamu…”, suara dinda lirih, matanya mulai berkaca-kaca.

“dinda..”

“selamat siang….”, ujar dinda sambil berlalu meninggalkan zaki.

“dindaaa….”, teriak zaki memanggil dinda.

Dinda tak berhenti, hatinya terlalu hancur saat mengetahui bahwa pria yang dicintainya itu sama sekali tak tahu lagi apa yang diinginkannya. Air matanya mengalir.

Waktu terus berjalan dengan cepatnya. Zaki masih terus2an berkutat dengan kesibukannya di pekerjaan. Bahkan semakin tak kenal waktu, zaki begitu larut dengan pekerjaannya.

Dinda benar2 telah kehilangan zaki semenjak hari itu. Tak ada lagi canda zaki yang selalu bisa membuatnya tertawa. tak ada lagi cerita2 dari zaki yang selalu bisa mebuatnya betah mendengarkan berjam-jam di telefon. tak ada lagi tempat untuknya menangis dan berkeluh kesah tentang keluarganya yang semakin hari semakin membuatnya tertekan. Dinda merindukan zaki. Dinda benar2 kehilangan zaki.

Zaki tak pernah tahu bahwa orang tua dinda akan segera bercerai. Zaki tak pernah tahu bahwa kakak laki2 dinda kini berada dalam penjara setelah tertangkap tangan menggunakan narkoba. Zaki tak tahu bahwa dinda semakin hari semakin tertekan dengan keadaan keluarganya sendiri. Zaki tak pernah tahu bahwa kondisi kesehatan tubuh dinda semakin hari semakin menurun. Terlebih lagi, zaki tak pernah tahu bahwa dinda membutuhkan dirinya lebih dari apapun saat ini. zaki tak pernah tahu, zaki terlalu sibuk dengan pekerjaannya.

Di sebuah sore yang mendung. Zaki masih berkutat dengan laporan2 yang menumpuk di meja kerjanya. Sebuah telefon masuk ke HP nya.

“halo..”, sapa zaki.

“zaki, cepetan ke rumah sakit…”, suara seorang perempuan temen dinda terdengar panik

Ngapain ke rumah sakit..?!, siapa yang sakit…?!”, Tanya zaki.

“dinda, zaki…dinda sedang di UGD sekarang…”

“kenapa dia…?!, dinda kenapa…?!”

“cepatlah kesini…”, jawab teman dinda dengan suara panic dan menangis.

Zaki pun langsung loncat dari meja kerjanya. Dengan langkah tergesa dia mengambil kendaraannya di parkiran. Tak lama zaki sudah melaju dengan kencang menuju rumah sakit.

Dicobanya lagi menelfon temannya, namun tak bisa tersambung. Dinding UGD rumah sakit yang tebal memang terkadang mengganggu sinyal HP. Tak lama zaki pun sampai di rumah sakit itu. Dengan langkah tergesa zaki berjalan menuju UGD.

Dilihatnya seorang teman dinda menangis di tempat duduk di depan UGD.

“mana dinda….?!”, Tanya zaki.

“di dalam, para dokter masih mencoba menyelamatkannya…”

Zaki membuka pintu UGD, dilihatnya dinda tengah dikerumuni oleh beberapa dokter dan suster yang sibuk. Dinda seolah kesulitan bernafas. Masker oksigen menutupi separuh wajah dinda.

Air mata zaki meleleh melihat keadaan dinda. Perlahan zaki menghampiri dinda. Dilihatnya dinda begitu kepayahan dalam bernafas. Dilihatnya air mata dinda meleleh di pipinya yang putih. Zaki tersenyum saat dinda melihatnya.

“aku disini, dinda. Aku di sini…”, ujar zaki pelan.

Dinda tak mampu bersuara, hanya mampu menangis. Zaki menyeka air mata dinda.

Dinda berusaha melepas masker oksigen yang ada di wajahnya, dinda berusaha berkata sesuatu ke zaki.

“jangan dilepas dinda, ini harus tetap dipakai…”

Dinda menggeleng, air matanya terus mengalir deras.

“tolonglah…kita akan kehilangan dia bila terus seperti ini…”, suara seorang dokter terdengar jelas di telinga zaki. Zaki pun mulai menangis di depan dinda.

“enggak dinda…jangan…”, kali ini suara zaki terdengar lirih.

“zaki..”, ujar dinda dengan suara yang lemah dan nyaris tidak terdengar.

“aku disini, dinda, aku mendengarkan kamu…”, sahut zaki sambil mendekatkan telinganya ke mulut dinda.

“ini…ini…ini…”, ujar dinda sambil memberikan sebuah kertas kumal yang dari tadi terus digenggamnya kepada zaki.

Zaki mengambil kertas itu dan dibacanya. Itu adalah kertas yang berisi coretan2 mereka saat zaki hendak menyatakan cintanya kepada dinda. Air mata zaki semakin deras mengalir. Tangisnya meledak saat membaca tulisan tangan dinda dan dirinya di bagian bawah kertas itu.


“AKU TAK MAU APA2 DARI KAMU, AKU HANYA MAU KAMU, AKU HANYA MAU KAMU SELALU ADA DI SAMPING AKU, BERJANJILAH.”

“ITU SIH MUDAH, SEPERTINYA TAK PERLU BERJANJI.”

“BERJANJILAH.”

“BAIKLAH, AKU BERJANJI AKAN SELALU ADA BUAT KAMU. AKU AKAN SELALU ADA DI SAMPING KAMU.”

Zaki tak mampu lagi berkata-kata. Semua kenangan dengan dinda hadir kembali. Semua yang terlupa olehnya karena kesibukannya kini diingatnya kembali. Tangis zaki semakin kencang.

“aku tak mau apa2 dari kamu, aku hanya mau kamu..”, ujar dinda lemah

“maafin aku, dinda…maafin aku…aku pikir aku sedang berjuang untuk kita berdua, tapi..tapi…aku lupa…aku lupa bahwa yang kamu mau hanya aku, maafin aku dinda…”, ujar zaki dengan suara yang bergetar.

“tapi kamu sekarang ada buat aku…aku senang…”

Zaki mengangguk.

“aku berjanji, aku akan selalu ada buat kamu…bertahanlah dinda…jangan pergi sekarang…maafkan aku dinda…aku akan selalu ada buat kamu, dinda…aku sayang kamu dinda…jangan pergi…”, ujar zaki dengan suara terbata

Dinda tak menjawab, hanya tersenyum. Tak ada lagi air mata yang mengalir dari mata dinda.

Tangis zaki pun meledak, mengisi setiap ruang yang ada di UGD rumah sakit itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar