Senin, 23 November 2009

Ini bukanlah kritik, ini hanya note.

Sempat terpikir oleh saya, bahwa peradaban, kebudayaan, serta jati diri sebuah bangsa atau negara bisa dilihat dari perempatan –perempatan jalan di ibukotanya, atau kota-kota besar lainnya.


Tengoklah Jakarta, sempatkanlah diri anda menikmati perempatan-perempatan jalan di Jakarta dari trotoar atau pedestrian ( itu pun bila masih ada ruang untuk anda ), lihatlah kehidupan disana. Yang sedang anda lihat adalah peradaban orang-orang Indonesia. Yang sedang anda saksikan adalah kebudayaan orang-orang Indonesia. Yang sedang anda perhatikan adalah jati diri orang-orang Indonesia.


Saya adalah orang yang sering memandangi Jakarta dari perspektif saya sendiri. Dari apa yang saya lihat, saya punya pandangan sendiri tentang Jakarta. Setiap pagi dan sore kemacetan yang luar biasa terjadi dimana-mana, volume kendaraan melimpah ruah di jalanan yang hanya mengalami pelebaran setiap satu dasawarsa sekali. Salahkanlah diri kita sendiri. Pemerintah membuat lajur busway bukan untuk dimasuki kendaraan pribadi dan motor-motor, tapi lihatlah, kemacetan yang sudah tidak masuk akal membuat jalur busway pun menjadi rute favorit untuk dilewati. Salahkanlah diri kita sendiri.


Saya pernah berbincang dengan teman kantor, berbincang mengenai kemacetan di Jakarta. Teman saya itu bilang begini ; “kamu tahu tidak, kemacetan di Jakarta itu terjadi karena gengsi. Hitung jumlah mobil yang bertambah setiap tahunnya. Hitung jumlah motor yang bertambah setiap tahunnya. Coba kamu lihat berapa banyak mobil pribadi yang ternyata hanya ada satu orang di dalamnya…?!, hampir semua mobil pribadi seperti itu. Salahkanlah diri kita sendiri, stereotype orang sukses di Jakarta adalah punya mobil pribadi. Siapa yang memberi stereotype itu…?!, ya kita-kita juga…!!!. Rupanya, kampanye pembodohan structural telah sukses. Kita semua telah menjadi bodoh dan arogan, tapi anehnya, kita koq gak menyadarinya ya…?!”.


Saya hanya tersenyum mendengarkan teman saya itu.


Perempatan-perempatan jalan di ibukota itu memang tepat rasanya menggambarkan keadaan sebuah bangsa. Lihatlah ke barisan kendaraan yang menunggu lampu merah menjadi hijau, terkadang lampu hijau belum menyala, beberapa kendaraan sudah melaju. Atau sebelumnya, sebelum lampu hijau menjadi merah, beberapa kendaraan yang dalam posisi nanggung akan menambah kecepatannya dengan maksud agar tidak berhenti karena lampu merah.


Saya sempat kesel dan marah ketika sedang menunggu lampu merah menjadi hijau di bilangan warung buncit menuju mampang. Lampu masih merah, namun sudah tidak ada kendaraan dari arah samping. Seorang pengendara sepeda motor dibelakang saya membunyikan klaksonnya dan berteriak agar saya segera jalan. Saya cuekkin. Ketika lampu hijau, saya memacau motor saya, dan pengendara motor itu memaki saya. Saya hanya bisa menahan kesal dan tidak mau ikut-ikutan bodoh seperti pengendara motor tadi.kejadian seperti itu sering sekali saya alami. Dan memang, kecelakaan lalulintas baik itu kecelakaan kecil atau kecelakaan besar bukan hal yang aneh dan mengejutkan abgi warga Jakarta, karena setiap harinya kita bisa melihat itu terjadi.



Lihatlah pengemis-pengemis yang berserakan, anak-anak jalanan, lansia, dan juga orang-orang cacat. Mereka menjual derita dan kekurangan mereka demi rupiah. Trotoar bukanlah tempat pejalan kaki, semua sudah di-booking oleh pedagang kaki lima. Dan lagi-lagi , kejadian orang terserempet kendaraan bukanlah hal yang aneh dan mengejutkan di Jakarta ini.



Musisi jalanan alias pengamen pun tak mau kalah, lari kesana-kesini, naik dan turun dari bis satu ke bis satunya lagi. Semuanya demi rupiah, semuanya demi bertahan hidup. Angkot-angkot nge-tem berjejer dengan bus-bus besar. Badan jalan yang semakin sempit membuat kemacetan bertambah parah. Calon-calon penumpang tak segera beranjak ke bus, mereka menunggu sampai bus sedikit penuh, baru setelah itu masuk ke dalam bus. Dan waktu nge-tem bus-bus itu pun semakin lama. Belum lagi, suhu udara di Jakarta yang bila sedang panas-panasnya, bisa menyakiti kulit. Wajah-wajah marah, gak terima, kesal, dan stress pun bisa tertangkap dengan jelas dari pengendara-pengendara yang terkena macet. Dan itu harus mereka lalui setiap harinya.


Orang-orang penting di Negara ini pun sepertinya tidak sadar dengan kemacetan ini, dengan keabsurdan ibu kota ini, bagaimana mereka mau tersadar, mereka gak pernah merasakan kemacetan koq, kita yang harus rela macet saat mereka mau lewat. Kita yang bayar pajak, kita yang bayar gaji mereka, kita juga yang sengsara di jalan raya. Ini benar-benar kebodohan yang sudah tidak bisa diterima oleh akal sehat. Sekedar saran dari saya untuk orang-orang penting di Negara ini ; berhentilah gunakan kendaraan darat, mulailah gunakan helicopter. Itu lebih masuk akal.


Jakarta oh Jakarta, romantisme masa lalumu telah pudar di mata saya. Entah bagaimana saya bisa menikmati kehidupanmu Jakarta…?!. Saya dengar kalau Jakarta akan tenggelam dalam beberapa tahun mendatang…?!, saya rasa itu baik. Sebuah suksesi menuju ke arah perbaikan. Jadi, kota mana yang akan ditunjuk sebagai ibukota…?!, mari kita bangun bersama, agar nasibnya tidak sama seperti Jakarta.


Nikmatilah perempatan-perempatan di ibukota suatu Negara. Karena disitu bisa terlihat dengan jelas peradaban, kebudayaan, dan jati diri sebuah bangsa. Setidaknya menurut saya seperti itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar