Kamis, 29 Oktober 2009

[Topeng Retak]

Beberapa orang asing yang datang padaku, kemudian akrab dan hangat, lalu kemudian menjadi asing kembali. Beberapa orang asing yang datang, kemudian menjadi akrab, dan seterusnya akrab, tak bisa menjadi asing.
Pernah terpikir di kepalaku ; mengapa beberapa orang menjadi asing dan mengapa beberapa orang lagi bisa untuk terus akrab ?!.

Apakah karena perbedaan…?!,
Atau karena rasa benci…?!,
Atau karena kepercayaan yang dikhianati..?!,
Atau mungkin karena cinta yang disakiti…?!,
Mungkin juga karena rasa sayang yang tak bisa tuk dilampiaskan…?!,
Atau karena apa..?!.

Perasaan kehilangan memang selalu menyesakkan hati. Apapun jenis kehilangan itu.
Aku pernah kehilangan seorang ayah, lalu kehilangan cinta sejati, lalu kehilangan teman-teman. Beberapa terjadi karena takdir, beberapa terjadi karena aku dan mereka kalah oleh keadaan.
Lalu aku sempat berpikir ; kehilangan macam apa lagi yang akan terjadi..?!, aku menerka-nerka dan menebak-nebak.

“kita tidak pernah menanamkan apa-apa, kita tidak akan kehilangan apa-apa…”, kata dari SOE HOEK GIE yang terus terngiang di pikiran ku.
Perasaan takut untuk kehilangan lagi itu semakin menjadi-jadi. Bahkan bisa dibilang aku menjadi sedikit paranoid. Terkadang aku menjadi takut tuk kehilangan, namun di sisi lain, aku berpikir ; ya sudahlah, kalau memang harus kehilangan, silahkan…!!!. Ini memang semacam paranoid yang aneh. Ya, aku memang aneh.

Beberapa teman-teman terbaikku, orang-orang terbaik yang pernah kukenal hilang satu-persatu. Seperti yang sudah kubilang tadi, sebagian hilang karena takdir, sebagian hilang lewat proses pertengkaran, saling mendiamkan, dan kemudian menjadi asing kembali. Adakah yang salah…?!, siapa yang harus dipersalahkan.
Aku ingat masa-masa kuliah dulu, aku senang sekali memakai T-SHIRT yang bertuliskan kata-kata “I WON’T GROW UP…!!!”. Beberapa teman menertawakanku, tapi buatku tak apa karena mereka tak tahu rasanya menjadi dewasa. Menjadi dewasa yang sebenarnya. Untuk tahu dan paham mengenai diri sendiri dan sekitarnya, itulah kedewasaan. Setidaknya, buatku, ya seperti itu.

Lalu saya membuka sebuah buku yang sempat dibaca oleh almarhum ayah saya. Buku terakhir yang beliau baca sebelum meninggal. Ada kata-kata yang menarik ; kehidupan adalah kehilangan dan perolehan.

Buatku, kalimat itu bermakna seperti ini ;
Seseorang tidak akan pernah tahu rasanya kehilangan sebelum ia mengalaminya sendiri. Beberapa kehilangan membuat seseorang memperoleh sesuatu dari kehilangan tersebut, apapun itu. Kehilangan yang seseorang alami akan mendapatkan ganti, ia akan bertemu hal-hal yang baru, suasana baru, bahkan orang-orang baru, terlepas apakah ia akan kehilangan orang-orang baru itu lagi dan menjadi asing, atau orang-orang baru itu tetap akrab dan tak menjadi asing.

Kehilangan seseorang yang berarti buatku rasanya seperti mau mati saja. Terlebih karena pertengkaran, sakit hati, pengkhianatan, iri hati, kesombongan, lingkungan, dan perbedaan. Pertanyan-pertanyaan tentang siapa, apa, dan bagaimana yang menyebabkan seseorang itu pergi selalu membisiki pikiranku.

“kamu dan aku pernah berusaha. Ya, kita sudah berusaha sekuat tenaga, dan sebentar lagi kita akan menyerah. Jangan pernah berkata bahwa kita tidak pernah melakukan apa-apa. Kita sudah berusaha semampu kita. Lewat tawa, tangis, emosi, kemarahan, kesedihan, dan sebuah harapan dari apa yang kita berdua rasakan, kita berdua sekarang berdiri di depan pintu perpisahan. Bila kita menjadi asing, ingatlah ini baik-baik ; bukan kita yang menginginkan hal itu terjadi, tapi keadaanlah yang membuat hal itu terjadi. Kita, kamu dan aku kalah oleh keadaan, tapi, setidaknya kita sudah berusaha, meski pada akhirnya kita berdua kalah dan menyerah…”

Aku masih ingat kata-kata itu meluncur dari bibirnya yang bergetar. Matanya yang berkaca-kaca menahan air mata namun percuma, jemarinya yang menyeka air mata di pipinya. Aku masih ingat dengan jelas adegan di sebuah senja yang murung itu.

Berapa banyak air mata yang tumpah saat seseorang menahan dan berusaha untuk tidak kehilangan orang-orang yang disayanginya..?!. Dan saat kehilangan itu terjadi, berapa banyak air mata lagi yang harus tumpah…?!. Atau mungkin seseorang bisa tertawa sampai terbahak barangkali saat mengalaminya..?!, adakah yang pernah…?!.

Aku pernah bertanya pada ibuku ; “di kitab suci ada tercatat, apa yang dia tanam, itu yang dia tuai. Tapi, mengapa kita menuai apa yang kita tidak tanam..?!”
Ibuku menjawab dengan tenang ; “itu artinya, Tuhan sedang menguji kita…”

Aku tidak pernah menanam angin, mengapa aku menuai badai…?!, ohh…rupanya Tuhan sedang mengujiku. Baiklah, aku jalani saja ujian dari Tuhan semampuku. Dan aku pun tidak tahu apakah aku akan lulus ujian atau tidak. Terkadang aku tak lagi perduli.

Dalam hidup di saat sekarang ini, dimana pengkotak-kotakkan terasa seperti pagar besi. Dimana keterasingan seperti kawat berduri yang akan mengoyakkan kulit dan daging siapa saja yang berusaha melewatinya. Dimana – isme-isme seperti dinding yang dingin dan kokoh. Dimana ketidakwajaran dianggap sebagai sebuah kewajaran dan kita berikan pemaafan padanya setinggi-tingginya dan sedalam-dalamnya. Dimana kehidupan tak lagi berbentuk dan menjadi absurd. Dimana pikiran dan bukannya perasaan seseorang yang menjadi pencetus pada setiap gerak dan tingkah laku. Dimana apa yang akan kita peroleh menjadi lebih penting dari apa yang sudah kita milki. Dimana cinta dan kasih sayang tak lagi universal dan murni. Aku hanya ingin berada dekat dengan orang-orang tersayang. Memeluk mereka utuh tanpa perlu tuk memperdebatkan point-point perbedaan diantara kami. Aku hanya ingin mengerti dan memahami mereka seutuhnya. Terlebih lagi, aku ingin mengerti dan memahami mengenai semua hal yang telah terjadi padaku akhir-akhir ini.

Karena semuanya terasa menyakitkan. Aku tak lagi bisa menikmati hidup. Meski kutahu bahwa hidup itu cuma sekali, hanya saja aku tak bisa untuk belajar menikmatinya. Karena semuanya terasa menyakitkan.

Mati muda.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar