Minggu, 24 Mei 2009

I'm In Pain 2

Hari ini gw melihatnya lagi, dia dengan piano di lobby hotel ini. Jari2 putih dan lentik miliknya menari-nari diantara tuts2 piano. Wajahnya masih tersenyum menyapa orang2 yang berlalu lalang di lobby hotel ini. Sudah tiga hari gw berada di hotel ini, gw menikmati permainan pianonya diwaktu pagi ketika sarapan, di waktu siang dan sore ketika gw menikmati kopi dan sedikit cemilan. Memang hanya sebentar, kira2 lima belas menit saja setiap gw duduk tak jauh darinya, menikmati permainan pianonya, meski gw sendiri tak tahu lagu apa yang sedang dimainkannya.

Tapi hari ini berbeda, gw memiliki banyak waktu tuk mendengarkan permainan pianonya. gw duduk di depannya, kurang lebih 4 meter saja. Dia asyik dengan piano, jemarinya masih menari-nari diantara tuts2 piano yang berwarna hitam. Senyumnya seolah tak pernah habis menghiasi wajahnya. gw duduk menikmati dari sini, sambil menghisap rokok dan menghirup kopi. Terkadang dia memainkan sebuah lagu yang lembut dan lambat, terkadang cepat dan menghentak. gw masih disini, 4 meter darinya, terhanyut oleh denting2 piano yang dimainkannya.

Sebuah lagu selesai, dan entah kenapa gw reflex bertepuk tangan sambil berdiri. Dia menoleh ke arah gw dan tersenyum. gw pun balik tersenyum. Dia melambaikan tangan seolah memanggil gw untuk menghampirinya. gw matikan rokok gw dan segera menghabiskan kopi gw yang tinggal tersisa setengah, lalu gw berjalan menghampiri dia.

“hai….”, ujarnya pelan dan lembut sambil tersenyum.

“hai…”, ujar gw sedikit gugup.

“dari tiga hari lalu, gw perhatikan, loe selalu duduk disana “, sahutnya.

“ehh…iya, kenapa..?!, gak boleh yah..?!”, entah kenapa pertanyaan bodoh selalu keluar saat gw gugup.

“gak apa2, gw justru senang..”, ujarnya dengan senyum yang berubah menjadi tawa kecil.

“umh, baguslah kalau loe senang..”, semakin bodoh saja kata2 gw.

“kenalkan, gw Ayu…”, ujarnya sambil menjulurkan tangannya.

“Miko…”, sahut gw sambil menjabat tangannya yang halus.

“lagi ada acara apa di hotel ini, mik..?!”, tanyanya.

“biasa lah, meeting dari kantor…”, jawab gw sambil tersenyum.

“ohh…sampe kapan…?!”, tanyanya lagi.

“sampe besok”, jawab gw cepet.

“ohh…”, sahutnya dengan senyum yang sedikit memudar.

“makanya…ehh…”, suara gw tertahan.

“makanya apa…?!”, tanyanya ingin tahu.

“makanya gw pengen dengerin permainan piano loe sepuasnya hari ini, karena setelah besok, gak akan bisa…”, jawab gw dengan gugup.

“ohh…makasih banyak, mik…”, sahutnya dengan senyum yang semakin memudar.

“bukan…!!!, bukan itu maksud gw…!!!”, suara gw sedikit tinggi.

“buat gw sendiri, menjadi pemanis ruangan lobby ini adalah hal yang biasa, tak ada yang istimewa dari seorang pemain piano di lobby hotel bukan, mik…?!”, suaranya pelan dan tak lagi tersenyum, kedua matanya menatap gw.

“gw minta maaf…!!!”, ujar gw pelan sambil menatap matanya.

Sebentar dia tersenyum dan menghela nafas.

“semua orang punya kesibukan masing2, mik…baru loe yang minta maaf ke gw, padahal loe mendengarkan permainan piano gw. Sementara mereka yang berlalu lalang di lobby ini, yang menganggap gw hanya pemanis lobby ini, yang tak mendengarkan permainan piano gw, atau mungkin tak pernah menganggap gw ada, gak pernah meminta maaf sama gw. Gw sudah terbiasa dengan ini semua, mik…”, ujarnya sambil memalingkan wajahnya ke sekeliling lobby ini.

Gw pun tersenyum mendengar perkataannya barusan.

“loe gak perlu meminta maaf, mik…gw gak apa2…”, ujarnya sambil tersenyum menatap gw.

“yeahh…karena sudah terbiasa, sehingga rasa sakit itu tak lagi asing, dan lama kelamaan itu menjadi bagian dari diri loe..”, sahut gw sambil menatap kedua matanya.

Dia kesakitan. Jelas dia kesakitan. Meski dia hanya diam, jelas sekali dia kesakitan.

“ada sesuatu yang gw tangkap setiap gw mendengarkan permainan piano loe, itu yang membuat gw mencuri waktu tuk mendengarkan…”, lanjut gw sambil menghela nafas.

“apa itu…?!”, tanyanya pelan.

“pain..”, jawab gw tanpa ekspresi. Kosong.

Dia bahkan tak berani menatap mata gw. Dia hanya tertunduk dan terdiam.

Kami berdua terdiam beberapa saat. Sunyi dan senyap memenuhi udara.

“boleh gw duduk…?!”, kata2 gw membuyarkan kesunyian diantara kami berdua.

Dia hanya mengangguk pelan dan menggeser duduknya.

“buat gw gak penting loe terluka karena apa, karena siapa, dan bagaimana loe terluka…?!, yang penting buat gw adalah bagaimana gw bisa sedikit membalut luka loe itu…”, ujar gw sambil tersenyum dan mulai menekan tuts2 piano secara sembarangan.

Dia menoleh dan menatap ke arah gw. Senyumnya perlahan muncul kembali.

“loe bisa main piano…?!”, tanyanya.

“umh…dibilang bisa, enggak…dibilang gak bisa juga enggak…!!!, nanggung soalnya skill gw..heheheheeee”, jawab gw sambil tertawa.

Dia pun tertawa.

“okay, ini buat loe…!!!”, ujar gw sambil mengambil ancang2.

“lagu apa…?!”, tanyanya ingin tahu.

“first love-nya utada hikaru..”, jawab gw sambil tersenyum.

“kenapa lagu itu…?!”, tanyanya lagi.

“cinta pertama itu adalah sesuatu yang tak bisa dilupakan, semakin ingin dilupakan, semakin sulit. So, we must deal with it..!!!”, jawab gw sambil memulai menekan tuts2 piano, memainkan first love.

Dia tersenyum di samping gw, dan sesekali bernyanyi pelan, sebentar2 tawanya membahana, serasa lobby ini milik gw dan dia saja.

“wow…keren…!!!”, ujarnya sambil bertepuk tangan ketika lagu first love selesai.

“thanks…”, ujar gw sambil tertawa kecil.

“gak, harusnya gw yang berterima kasih sama loe, karena loe membuat hari ini berbeda banget..”, sahutnya sambil tersenyum.

“wah…sama2 kalo begitu, impas kan..?!”, ujar gw sambil terus tertawa.

Dia pun tertawa lepas.

“okay..!!!, lagu berikutnya..!!!”, ujar gw memulai ancang2 sambil menatap kedua matanya.

“wah…lagu apa..?!”, tanyanya sambil mendekatkan wajahnya ke wajah gw.

“Canon in D Pachebel…!!!”, jawab gw.

“wow..!!!, kenapa lagu itu…?!”

“mengingatkan gw tentang seseorang…”, jawab gw pelan.

“ohh…I see…!!!, pasti cewek nih…?!?!”, sahutnya sambil tersenyum.

“selain itu juga, gw suka karena diawal lagu ini sangat pelan, lalu beatnya naik, terus naik dan menghentak, lalu turun menjadi pelan lagi, seperti kehidupan; perjalanan kehidupan dari kelahiran sampai kematian”, ujar gw pelan sambil memulai memainkan Canon in D.

Tak ada jawaban. Dia hanya terdiam.

Dia masih terus terdiam ketika gw selesai memainkan Canon in D.

“hey, gw sudah selesai “, suara gw sedikit mengejutkan dia.

“ehh..iya..!!!”, sahutnya gugup.

“dua lagu saja yah, berhubung gw skill nya nanggung, jemari gw dah lumayan pegel2 nih hehehe…”, ujar gw sambil tertawa kecil dan bangkit berdiri sambil mengambil rokok dari saku celana gw.

Dia tersenyum dan mengambil posisi duduk seperti semula. Gw menyalakan rokok gw.

“miko…”, suaranya pelan memanggil nama gw.

“ya..?!”, sahut gw.

“makasih buat hari ini…”, ujarnya sambil tersenyum memandangi gw.

“sama2, ayu…”, jawab gw sambil menghisap rokok gw.

“umh.. apakah besok loe akan melihat gw bermain lagi…?!”, tanyanya sambil terus memandang gw.

“ya..tentu saja..”, ujar gw.

“setelah esok…?!”, tanyanya dengan nada pelan kali ini.

“setelah esok…?!”, ujar gw pelan.

“ya…setelah esok..?!”, tanyanya lagi.

“yang pasti sih gak disini…!!!”, jawab gw sambil merogoh saku belakang celana gw.

Dia terdiam. Sebuah kartu nama gw berikan ke dia, dia tersenyum menerimanya.

“kenapa…?!”, tanyanya.

“umh, karena sewaktu gw memainkan Canon in D, loe hanya diam. Dan berhubung gw belom tau alasan kenapa loe diam, gw rasa itu menjadi alasan kenapa gw ingin bertemu dengan loe..”, jawab gw sambil tersenyum.

Dia pun tersenyum dan tertawa kecil.

“makasih buat hari ini…”, ujarnya lagi.

“ya..gw juga makasih buat permainan piano loe. Gw ke kamar dulu deh, besok kita masih ketemu lagi.
Nice to meet you, Ayu..”, ujar gw sambil menjulurkan tangan.

“sama2, nice to know you too, Miko..”, dia tersenyum sambil menjabat tangan gw erat.

Tak lama gw berjalan menuju lift meninggalkan dia yang masih memandangi gw sambil tersenyum. Lamat2 terdengar lagu Canon in D dari piano. Gw pun tersenyum karenanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar